Sugeng Rawuh


Sugeng Rawuh

Kita makan untuk hidup
Bukan hidup untuk makan

Kamis, 13 Mei 2010

Semar Mbangun Kahyangan


Pagi-pagi buta didesa Karangkabulutan, Ki Semar tampak bermuram durja. Sebagai pamong Arcapada dia sedih melihat negerinya Amarta, karut-marut diterjang kelaparan, bencana alam, dan wabah penyakit. Sementara para dewa kahyangan sepertinya tidak peduli dengan kondisi itu. Akhirnya dengan penuh ketetapan hati, Semar bertekad mbangun kahyangan untuk menyelesaikan segala persoalan tersebut.

Semar pun mengutus anaknya Petruk, untuk pergi ke Kraton Amarta, istana para pandawa untuk meminjam tiga pusaka sakti, yaitu Jamus Kalimasada, Payung Kencana, dan Tombak Tunggul Naga. Dengan tiga pusaka itu Semar hendak mbangun kahyangan.

Sesampainya di Amarta, alih-alih disambut hangat, Petruk justru diusir oleh Krisna, sesepuh pendawa, karena niat mbangun kahyangan itu dinilai tak pantas. Sebagai raja yang bijaksana Prabu Puntodewo meminta Petruk untuk menunggu diluar paseban, sementara Puntodewo, Bimo, Nakula, dan Sadewa bersemedi depan ruang pusaka. Tiga benda pusaka itu tiba-tiba secara gaib meluncur ke desa Karangkabulutan. Prabu Puntodewo dan tiga adiknya pun memahami niat Semar itu dan langsung menuju ke Karangkabulutan.

Di pihak lain Krisna dan Arjuna menolak rencana Semar. Krisna bahkan melapor ke Bathara Guru, raja para dewa. Sanghyang Jagatnata pun itu pun marah dan memerintahkan Krisna, Yamadipati, dan Bethari Durna untuk menggagalkan rencana Semar.

Sesungguhnya rencana Semar untuk mbangun Kahyangan bukan untuk menandingi Suralaya yang ditempati para dewa. Namun itu petunjuk yang diterima dari Sanghyang Wenang agar para Pendawa melakukan lelaku tapa selama 10 hari. Selain itu, rencana Semar ditujukan untuk mengingatkan para dewa agar berbuat adil demi kesejahteraan rakyat dan tidak egois.

Dengan segala rintangan yang ada, Semar pun mengobrak-abrik Suralaya. Krisna, Bathara Guru, Bethari Durga, dan para dewa-dewa dia tundukan. Akhirnya para dewa pun menyadari kesalahannya. Arcapala pun kembali damai dan sejahtera.

Dari gambaran cerita diatas kita mendapat beberapa pelajaran yang bisa diambil, yaitu:

1. Bahwa Rakyat memiliki hak dan otoritas yang begitu besar atas kekuasaan.
2. Bahwa elit bukanlah satu-satunya pihak yang memiliki kewenangan mutlak atas masa depan negaranya (de-sakralisasi elit).
3. Perlu adanya evaluasi dan kritik, oto kritik atas proses demokrasi procedural yang sedang berjalan di negara kita, terutama demokrasi procedural yang berbiaya tinggi, yang akan membebani rakyat, semisal Pilkada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar